Selasa, 05 Agustus 2008

persona - moral


PAHAM TENTANG PERSONA

1. Pengantar

Hidup manusia adalah pemberian Allah. Dalam pengertian tersebut hidup itu bukan hasil kreasi manusia. Dalam diri manusia terdapat kelebihan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh ciptaan lainnya. Hanya manusia yang disebut persona. Dalam bioetika disebut sebagai makhluk persona. Konsep persona penting dan berhubungan erat dengan hak untuk hidup serta masalah-masalah etika, hukum, “kebijaksanaan” pada awal dan akhir hidup manusia. Berhadapan dengan hidup manusia yang begitu kompleks, kerapkali pertanyaan mendasar seputar manusia muncul. Sejak kapan manusia disebut persona atau sejak kapan hidup itu dimulai?

2. Awal Kehidupan

Berbicara tentang persona, kiranya tidak lepas dari pembicaraan tentang awal kehidupan. Kapan hidup manusia sebagai individu dan personal? Bagi banyak pemikir inilah sebenarnya jantung persoalan tentang persona. Apakah hidup manusia dimulai sejak pembuahan ataukah sesudahnya? Banyak ahli menyatakan bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan, bukan waktu kelahiran. Janin sebagai hasil pembuahan dapat disebut hidup baru, manusia baru yang membawa hasil identitas genetik yang unik. Tetapi dalam prosesnya belum atau tidak dikatakan sebagai manusia personal. Ada juga berpandangan bahwa hidup manusia dimulai sesudah proses pembuahan. Kalau demikian kriteria mana yang dipakai untuk mengetahuinya? Berikut kami paparkan beberapa pandangan.

2. 1 Teori Genetika

Teori ini menegaskan bahwa status persona telah ada pada awal kehidupan sekaligus mengakui hidup manusia dimulai pada saat pembuahan. Saat (insan) janin dikandung, ia telah diakui sebagai manusia sebab ia memiliki potensi untuk menjadi manusia. Kriteria manusiawinya sangat sederhana dan mencakup semua: jika suatu insan dikandung seorang wanita (ibu), ia adalah manusia. Ia selanjutnya menyatakan bahwa suatu insan yang dikandung oleh manusia (wanita) dan berpotensial untuk mampu bertindak seperti manusia, insan itu adalah manusia. Jadi yang penting ialah sifat manusiawinya yang terbentuk dari seorang laki-laki dan seorang wanita. [1]

Saat pembuahan berlangsung, terjadi perubahan yang sangat jelas dan cepat dalam kemungkinan-kemungkinannya yang sangat menentukan. Meskipun alasan kemungkinan-kemungkinan itu tidak diarahkan kepada pembentukan kemanusiawian, tetapi ia masuk dalam perdebatan moral. Kriteria terjadinya proses pemanusiawian ialah waktu pembuahan insan itu menerima kode genetiknya. Kode genetiknya tersebut merupakan informasi genetik yang membatasi karakteristik sebagai manusia, yang secara biologis membawa kemungkinan kebijaksanaan manusia. Insan yang memiliki kode genetik manusia adalah homo sapiens dalam potensi.[2] Proses pemanusiawian (hominisasi) merupakan kriteria untuk mendefinisikan kepribadian manusia. Embrio dalam setiap tahapnya berkembang untuk mencapai kehidupan, suatu kehidupan individual. Oleh karena itu embrio atau janin harus dipertimbangkan sebagai persona. Status persona sudah ada di dalam janin meski masih “totipotensial”.[3]

2.2 Pandangan Perkembangan

Menurut pandangan perkembangan, kode genetik tidak cukup untuk menyediakan perkembangan lebih lanjut, tetapi perlu adanya perkembangan lebih lanjut dan interaksi dengan lingkungan supaya dapat disebut persona manusiawi dalam arti yang sebenarnya. Pandangan perkembangan mempunyai kaitan dengan hominisasi. Hominisasi terdapat dalam perkembangan. Perkembangan biologis yang bermula dari pembuahan adalah suatu rangkaian kontinuitas. Proses perkembangan selanjutnya yang mengarah kepada sosialitas lebih ditekankan. Peristiwa inilah yang disebut hominisasi.[4]

2.3 Pandangan Moral Kristen

Gereja Katolik lewat Kongregasi Ajaran Iman, khususnya dalam Declaration on Procured Abortion menyatakan secara tegas pandangan moralnya. Meskipun banyak orang meragukan mengenai entitas hasil pembuahan, apakah janin sudah seorang manusia, Gereja pada prinsipnya berpandangan bahwa melaksanakan pemusnahan atas sesuatu yang akan menjadi pribadi manusia, yang sedianya adalah manusia, secara obyektif adalah suatu dosa yang serius. Gereja secara terang dan jelas mengakui bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan hidup personal di dalamnya.[5]

Gereja menyadari bahwa perdebatan-perdebatan sekarang ini, terkait dengan permulaan hidup manusia, individualitas manusia dan identitas pribadi manusia. Posisi dan jawaban Gereja atas persoalan tersebut sangat tegas bahwa sejak sel telur dibuahi suatu kehidupan telah dimulai. Hidup itu bukan lagi hidup orangtunya, melainkan manusia baru. Hidup itu tidak akan pernah menjadi manusia jika bukan manusiawi sebelumnya. Sejak tahap pertama telah tersusun program tentang bagaimana makhluk hidup itu adanya di masa yang akan datang: seorang pribadi, individu dengan aspek-aspek karakteristiknya.

3. Pengertian Persona

3.1 Pengertian Persona secara Etimologis

Kata “persona” berasal dari bahasa Etruskia yakni “phersu yang berarti topeng. Dalam bahasa Yunani istilah persona dikenal dengan kata πρόσωπον (“prosopon”), yang berarti wajah. Istilah tersebut sering digunakan dalam pertunjukan drama, dunia sandiwara maupun seni peran lainnya, di mana para pemain mengenakan topeng untuk memainkan suatu peranan tokoh tertentu.[6] Kata persona juga dipakai dalam budaya Romawi kuno yang berarti peran atau topeng; peran dalam permainan drama maupun peran yang dimainkan seseorang dalam hubungan keluarga. Topeng itu menutupi atau menyembunyikan wajah dari si pemain. Jadi pribadi tokoh itu diambil alih dalam bentuk lakon topeng. Dari balik topeng itu si pemain harus berbicara lebih keras dari biasanya. Sebenarnya, yang di balik topeng itulah yang harus dicari dan ditemukan. Di kemudian hari karena adanya persamaan antara topeng dengan pemainnya, persona diartikan sebagai aktor. Jadi, persona itu adalah pemain, aktor yang sebenarnya. Kata persona sebagai istilah muncul dari kata personare (Latin), yang berarti menyuarakan ke segala arah.[7]

3.2 Pengertian Persona menurut Beberapa Tokoh

Banyak tokoh mencoba memberi arti dan makna terhadap kata persona. Pandangan mereka cukup unik dan juga berbeda-beda. Berikut kami catat beberapa pandangan tokoh yang berbicara tentang persona:

Severinus Boethius (480-524) mengartikan persona sebagai substansi individu dari suatu kodrat relasional (persona est naturae ratinalis inciviua substansia). Substansi individu tersebut tidak terbagi dan berkodrat rasional. Definisi ini memainkan peranan besar dalam tradisi sesudahnya dan antara lain diambil alih oleh Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mengartikan persona sebagai substansi individu (tunggal) yang berkodrat rasional dan menjadi dirinya sendiri. Persona adalah suatu substansi yang komplit atau lengkap, hidup dengan dirinya dan berbeda dari yang lain.[8]

Rene Descartes (1596-1650) menekankan segi kesadaran diri pada persona dengan ungkapannya “cogito ergo sum.” Menurutnya, persona itu ada bila ia berpikir. Penentu ada tidaknya persona adalah pikirannya sendiri. Sementara itu, Imanuel Kant (1724-1804) menekankan segi rasionalitas manusia dengan mengatakan persona merupakan subyek rasional. Sebagai subyek rasional, persona dalam dirinya sendiri mampu melaksanakan kebebasannya sebagai bentuk otonominya. Bagi Kant otonomi merupakan prinsip moralitas tertinggi. Persona itu mampu untuk berbuat sesuatu bukan karena dorongan atau pengaruh dari luar, tetapi lebih karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Lebih lanjut lagi Imanuel Kant menekankan bahwa persona adalah tujuan dan bukan sebagi sarana. Persona harus diperlakukan sebagai tujuan dari dirinya sendiri dan tidak pernah boleh dipakai sebagai alat atau sarana mencapai tujuan tertentu.[9]

Kemudian teolog Jerman, Karl Rahner, masih memberi definisi tentang persona dalam konteks yang sama: ”the actual unique reality of spiritual being, an undivedwhole existing independently and not interchangeable with any other”. Selanjutnya, Norman Ford mencoba merumuskan definisi khusus dalam konteks antropologis: “A person is a living indiviual with a truly human natural”. Individualitas mengandaikan identitas yang terentang dalam waktu. Orang dewasa adalah identik dengan orang yang pernah menjadi bayi, anak, remaja, adolosen, dan sebagainya.[10]

3.3 Unsur-unsur Penentu bagi Persona

Dari pemaparan di atas, terdapat aneka pengertian atau definisi persona. Merumuskan pengertian atau definisi yang sempurna dan komplit tentang persona rasa-rasanya sulit, karena manusia adalah makhluk yang kompleks. Seperti sudah dikatakan dalam pengantar di atas, dalam bioetika konsep persona adalah penting karena berhubungan erat dengan hak untuk hidup serta masalah-masalah etika, hukum, “kebijaksanaan” pada awal dan akhir hidup manusia, dan lain-lain. Persona adalah mahkluk yang berakal budi dan berkehendak, yang otonom, dll. Setiap persona memiliki hak untuk hidup dan dilindungi. Bayi dalam kandungan, orang yang tua, orang cacat dan orang gila sekalipun merupakan persona. Ia memiliki kepribadian dan hak untuk hidup, serta hak untuk dilindungi.[11]

Dalam hukum dan etika, hak dihubungkan dengan kewajiban. Oleh karena itu harus ditentukan kapan manusia atau persona itu dapat bertanggungjawab dan mempunyai kewajiban. Pada saat itulah persona dalam hukum dan etika diakaui mempunyai hak. Perlindungan hak untuk hidup pun dikaitkan dengan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Bila ia belum bisa menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya, haknya pun belum dilindungi.[12]

Persona dalam bioetika tidaklah sama dengan pemahaman dalam hukum dan etika. Memang sulit merumuskan persona secara definitif. Kendati demikian, kiranya ada beberapa poin yang muncul, baik secara ekspilisit maupun implisit, yang dapat disebut sebagai kriteria atau unsur penentu bagi persona, sebagai berikut:

a. Memiliki kesadaran, yakni kesadaran dalam arti mampu merespon terhadap rangsangan yang terjadi di dalam dan di luar dirinya, terutama merasakan adanya sakit.

b. Memiliki pikiran ratio, atau akal budi, yakni kemampuan untuk mengatasi suatu problem yang baru dan kompleks.

c. Memiliki kehendak atau aktivitas yang didorong dari dalam dirinya, yakni suatu aktivitas yang tidak tergantung dari kontrol dan rangsangan di luar dirinya.

d. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan berbagai macam cara, yakni menerima dan mengirim signal sehingga dapat ditangkap oleh subyek lainnya.

e. Kehadiran akan konsep diri dan kesadaran diri, baik sebagai individu maupun kelompok.

Kalau ada makhluk hidup yang tidak mempunyai salah satu kriteria tersebut di atas, ia bukanlah persona. Karena ia bukan persona, ia bukan pelaku atau subyek juga bukan objek moral dan hukum. Oleh karena itu ia tidak perlu mendapat perlindungan hukum dan moral. [13]

4. Perkembangan Paham Persona

Selain pandangan tokoh di atas, terdapat juga teori atau pandangan yang mencoba merumuskan secara lebih luas saat atau kapan disebut persona. Berikut ini akan dipaparkan menurut beberapa teori tentang kehidupan manusia dari masa pembuahnnya serta saat dimulainya janin dianggap sebagai persona.

4.1 Persona Menurut Teori Endsoulment atau Animation

Endsoulment atau Animation berarti penyawaan. Penyawaan ini terjadi pada saat masuknya roh atau jiwa ke dalam janin. Ada dua teori yang sangat menonjol: animatio simultan dan animatio successif. Teori pertama menyebutkan bahwa jiwa manusia terbentuk sejak pembuahan. Sementara teori animatio successif berpendapat bahwa jiwa terbentuk secara bertahap. Peristiwa itu terjadi ketika janin berumur 40 hari (untuk janin laki-laki) dan 90 hari (untuk janin wanita). Masuknya jiwa ke dalam janin tersebut ditandai dengan gerakan dalam rahim ibu (quickening). Penganut teori ini tidak menerima hidup personal sejak awal pembuahan. [14]

Menurut orang-orang yang menganut teori ini, sebelum nyawa (jiwa) masuk ke dalam janin, janin itu boleh digugurkan. Akan tetapi bila sudah mendapat nyawa, janin tidak boleh digugurkan. Pendapat seperti itu dianut oleh banyak orang selama berpuluh-puluh tahun termasuk oleh Gereja Katolik. Paus Gregorius XIV pernah mengatakan hukuman ekskomunikasi hanya berlaku, bila seseorang melakukan aborsi pada saat janin yang sudah berjiwa. Kalau aborsi dilakukan sebelumnya dia tidak diekskomunikasi dari Gereja meskipun pelakunya tetap berdosa. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman Gereja sangat dipengaruhi oleh perkembangan pandangan pada jamannya. [15]

Gereja katolik lewat Declaration on Procured Abortion, 18 Nopember 1974 cenderung menganut teori animatio simultan. Dengan pembuahan sel telur, mulailah hidup yang bukan hidup bapa dan bukan hidup ibu, melainkan hidup makhluk manusia baru. Ilmu genetika modern jelas meneguhkan hal ini, yang selalu nyata dengan jelas, dan yang sama sekali tidak disentuh diskusi tentang saat pasti penjiwaan. Jadi boleh dikatakan bahwa sejak konsepsi sudah ada hidup manusia yang terus berkembang menjadi manusia sempurna. Maka, sejak awal kehidupan manusia harus dilindungi. [16]

4.2 Bidang Biologi

Argumen biologi terkait dengan status persona sudah diungkapkan lewat teori genetika pada pembahasan awal. Sudah sejak pembuahan terjadi persona manusia. Sejak pembuahan identitas janin sebagai manusia sudah terbentuk. Sejak itu, janin tidak lagi berupa potential person, tetapi seorang persona yang mempunyai potensi untuk berkembang dan mengaktualkan dirinya dengan memfungsikan organ tubuhnya untuk berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Dengan kata lain, persona sudah ada sejak awal, hanya saja belum berfungsi seperti orang dewasa. Ketidakberfungsian itu tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkannya.[17]

Tahap-tahap perkembangan janin itu adalah sebagai berikut:

4.2.1 Pembuahan

Pembuahan adalah pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Pembuahan terjadi di saluran telur atau ampulla regina of the uterine tube. Dalam pembuahan berarti inti sel sperma masuk ke dalam sel telur. Dengan demikian di dalam sel itu sendiri ada dua inti sel, yakni inti sel (pronucleus) sperma dan ovum. Ketika terjadi kontak membran antara sel sperma dan sel telur maka keduanya segera mulai berfungsi satu sama lain. Karena fungsi membran, inti sel telur dan inti sel sperma menjadi satu. Dengan demikian pembuahan berakhir. Proses pembuahan itu berlangsung kira-kira selama 24 jam. Sel telur yang sudah dibuahi disebut zygot (bahasa Yunani, zygotos yang berarti dirangkai bersama-sama).[18]

4.2.2 Proses Pembelahan dan Pembentukan Kromosom

Setelah selesai proses pembuahan maka ke-23 kromosom yang dibawa oleh sel telur bersatu dengan ke-23 kromosom yang dibawa oleh sel sperma, sehingga keduanya membentuk 46 kromosom lengkap dalam diri manusia. Zygot juga sudah membentuk susunan genetikanya tersendiri yang tidak sama dengan orang tuanya. Zygot akan terus membelah diri. Ia berkembang (membelah diri) dengan memakai energi yang ada dalam sel itu sendiri. Setelah 30 jam sesudah pembuahan ia akan menjadi 2 sel dan setelah 48 jam akan menjadi 4 sel, kemudian menjadi 8 sel, dan seterusnya. Pada tahap 8 sel ini janin bersifat totipotens, artinya mempunyai kemampuan untuk menjadi semua sel yang diperlukan untuk membentuk manusia utuh. Setiap sel mempunyai kemampuan atau potensi untuk menjadi makhluk hidup utuh, tersendiri. Dari 8 sel itu bisa terjadi 8 makhluk hidup utuh. [19]

Zygot yang sudah membentuk susunan genetikanya tersendiri yang tidak sama dengan orang tuanya itu akan berjalan menuju ke rahim dengan energi yang berasal dari sel itu sendiri. Zygot sudah mandiri dan menjadi individu yang baru. Karena itulah ia bisa hidup di luar rahim ibunya. Setelah selesai fusi sel telur dan sel sperma ini, maka seluruh masa depan orang itu sudah ada di dalamnya. Potensi aktif manusia sudah ada, hanya saja tinggal menunggu perkembangan lebih lanjut untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Penentuan jenis kelamin juga terjadi pada saat pembuahan ini yang ditentukan oleh spermanya. [20]

4.2.3 Terbentuknya Morula

Pada hari ketiga janin sudah menjadi 16 sel. Pada tahap ini janin disebut morula, karena berbentuk seperti buah mulberry (buah besaran). Morula berjalan di saluran telur dan pada umur 3 atau 4 hari akan dinamai blastokista. Pada tahap ini sel-sel yang ada di bagian dalam (embrioblast) akan menjadi bayi, sel-sel yang ada di bagian luar (trophoblast) akan menjadi ari-ari (placenta). Bersama dengan pembelahan sel ini, janin pelan-pelan berjalan ke saluran telur menuju rahim. Pada umur 4-5 hari morula sampai di rahim. Pada hari ke-6 mulai proses menempel di dinding rahim. Pada hari ke-8 sebagian sel sudah tertanam, masuk di dinding rahim. Seluruhnya sudah tertanam pada hari ke-11 atau ke-12. Pada hari ke-14 seluruh proses penempelan di dinding rahim sudah selesai. Mulai saat itu terbentuklah jaringan antara blastokista dan endometrium (dinding rahim). Dan dalam skala yang lebih besar membuat jaringan dengan ibunya; untuk mendapat supply makanan dan oksigen. [21]

4.2.4 Proses Pembentukan Spesialisasi Sel-sel

Pada umur 15 hari sel tersebut mulai dengan spesialisasi. Pada tahap ini sudah bisa dibedakan bagian mana yang akan menjadi janin dan bagian mana yang menjadi plasenta. Pada bagian yang akan menjadi janin mulai terbentuk primitive streak, yakni pendahuluan terbentuknya tulang belakang, urat saraf. Mulai dari umur 15 hari ini perkembangannya sangat cepat. Pada tahap ini terjadi proses spesialisasi sel-sel, di mana masing-masing sel mengkhususkan diri untuk membentuk salah satu organ manusia. Sel-sel yang sudah terspesialisasi itu walaupun berbeda jenis dan wujudnya ternyata informasi genetisnya tidak berubah atau berkurang. Semuanya tetap sama. Maka seluruh sel somatis manusia, yakni semua sel manusia, kecuali sel telur dan sel sperma mempunyai informasi genetis yang sama, yang terdapat dalam 46 kromosom dengan struktur DNA yang sama satu sama lainnya. [22]

Pada umur 30 hari sudah muncul usus, hati dan jantung. Pada akhir minggu ke-4 jantung sudah mulai berdetak untuk mengalirkan darah dalam pembuluh darah primitif janin itu. Pada tahap ini juga mulai muncul perkembangan otak. Otak merupakan syarat bagi persona dalam arti sebenarnya. Tidak mungkin dibayangkan persona tanpa otak yang berfungsi. Dalam embrio sendiri fungsi itu sudah disajikan secara potensial. [23]

4.2.5 Terbentuknya Organ Tubuh

Pada umur antara 6 dan 8 minggu embrio ini sudah menjadi miniatur manusia yang punya organ tubuh yang cukup lengkap, yakni munculnya kaki dan tangan yang utuh dengan jemarinya, mata, telinga dan hidung. Maka janin ini sering disebut dengan fetus. Pada umur 18 sampai 22 minggu pergerakan fetus mulai dirasakan. Namun sebenarnya pada umur 10 minggu pun fetus sudah mulai bergerak. Pada umur 24 sampai 26 minggu terjadi pematangan pertumbuhan organ tubuh bagian dalam. Paru-paru mulai berfungsi untuk pertama kali. Korteks serebri juga mulai berfungsi dengan baik mengatur kesadaran. Karena sudah cukup berkembang maka tahap ini disebut tahap viability, sebab mulai tahap itu fetus bisa hidup di luar kandungan ibunya dengan bantuan tekhnologi modern. [24]

Yang paling menarik dari seluruh proses perkembangan janin ini adalah kontinuitas, koordinasi intern dan gradualitasnya. Janin berkembang secara kontinu, tidak terputus-putus dalam tahapan tertentu. Perkembangan janin itu dikoordinir oleh program genome internal, yakni program yang sudah tertulis di dalam genome masing-masing janin ketika terjadi pembuahan. Komando internal ini memungkinkan perkembangan dari satu sel menjadi miliaran sel tanpa harus berubah subyeknya. Oleh karena perkembangan itu dikomando dari dalam sel itu sendiri, maka terjadi perkembangan sedikit demi sedikit, tetapi subyek yang berkembang itu bukan subyek yang lain dari sebelumnya. Ia berkembang bukan dari benda mati menjadi makhluk hidup, tetapi berkembang dari makhluk hidup yang terdiri dari satu sel dan menjadi makhluk hidup dengan miliaran sel. Perkembangan janin yang dikomando dari dalam, gradual, terarah dan berkesinambungan itu menjamin kesatuan identitas, individualitas, dan keunikannya sejak pembuahan sampai menjadi dewasa dan mati. [25]

4.3 Pandangan Moral Kristiani

Berkaitan dengan hidup persona, persfektif moral kristiani berfokus pada martabat manusia sebagai citra Allah. Dalam ajaran moral kristiani tidak dijelaskan secara eksplisit apa itu persona. Namun secara implisit, dalam beberapa dokumen Gereja kita, ditemukan pernyataan-pernyataan yang menyinggung tentang hal itu. Katekismus Gereja Katolik dan ensiklik Evangelium Vitae tidak secara langsung memberikan definisi atau pengertian tentang apa itu persona. Kedua dokumen ini lebih sering menggunakan istilah pribadi yang kiranya juga mempunyai arti yang sama dengan persona.

Dalam Katekismus dikatakan bahwa embrio adalah pribadi (persona). Oleh karena itu embrio harus diperlakukan sebagai pribadi sejak pembuahan. Embrio, sebagaimana pribadi manusia yang lain, sebisa mungkin harus dipertahankan keutuhannya, dirawat dan dihargai kehidupannya.[26] Ia (sebagai persona) punya hak yang sama dengan manusia, sebab ia sungguh manusia. Pernyataan ini didukung oleh ensiklik Evangelium Vitae. Dalam ensiklik ini diutarakan bahwa apa yang disebut sebagai bakal manusia, pada saat itu juga sudah manusia. Hal ini disinggung ketika berbicara mengenai pengguguran (pembunuhan). Selengkapnya dikatakan bahwa tidak banyak perbedaannya, apakah orang membunuh jiwa yang sudah lahir, pada saat lahir, atau sebelum lahir. Ia yang suatu ketika akan menjadi manusia, sekarang pun sudah manusia. [27]

Gereja Katolik memandang bahwa kehidupan seorang manusia dimulai setelah sel telur bersatu (dibuahi) sel sperma. Maka janin dalam kandungan itu secara prinsipiil bernilai sama dengan seorang manusia yang sudah lahir. Allah menciptakan dunia dengan segala isinya. Ia juga menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Maka janin pun sudah bermartabat sebagai citra Allah (bdk. Kej 1:26-27). “Hidup manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena sejak awalnya menuntut ‘tindakan pencipta’, dan selalu tetap dalam hubungan khusus dengan Sang Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Allah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: Tak seorangpun dalam keadaan apapun dapat merebut hak untuk direk mematikan manusia yang tak bersalah.[28]

5. Penutup

Tuntutan etis atas martabat pribadi dilihat oleh gereja katolik lewat Gaudium et Spes No. 51 sebagai kewajiban manusia. Hidup merupakan tuntutan kodrati yang harus diberikan pada setiap manusia, maka usaha pemeliharaan hidup harus merupakan kewajiban setiap manusia juga. Kalau manusia menghendaki agar martabatnya dihormati dan diakui maka manusia sendiri harus melaksanakan kewajiban itu.

Sikap hormat terhadap manusia sebagai pribadi bukan saja berasal dari orang lain tetapi juga dari pribadi itu sendiri. Gaudium et Spes dengan amat jelas memberikan keterangan bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai martabat yang tidak bisa dirampas oleh orang lain. Seiring dengan tuntutan martabatnya, setiap orang harus menyadari kewajibannya untuk menjaga dan memelihara martabatnya yang luhur. Hanya manusia yang disebut person. Ciptaan lain tidak dapat disebut person. Martabat manusia diperoleh karena kemanusiaannya sendiri. Ditinjau dari penghayatan religius, manusia dihantar pada sumber hidupnya yakni Allah. Karena pada Allahlah terletak dasar martabat manusia.

Semua manusia itu adalah gambar Allah. Oleh karena itu manusia memiliki nilai khusus di hadapan Allah dan mempunyai hubungan khusus dengan-Nya, sehingga menjadi istimewa bagi-Nya. Sejak awal keberadaannya manusia harus dihormati sebagai hidup yang sungguh manusiawi.[29] Maka sebagai seruan moral bagi seluruh umat manusia pada jaman ini adalah “Cintailah dan belalah kehidupan (persona) yang merupakan pemberian Allah”.

KEPUSTAKAAN

Bertens, K. Aborsi sebagai Masalah Etika. Jakarta: Grasindo, 2002.

Bohr, David. Catholic Moral Tradition. Hungtington: Our Sunday Visitor, Inc, 1989.

Go, P. Hidup dan Kesehatan. Malang: STFT Widya Sasana, 1984.

Kusmariyanto, C.B. Kontroversi Aborsi. Jakarta: Grasindo, 2002.

-------- Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian Yogyakarta: Kanisius, 2005.



[1] John T. Noonan, Jr. “Abortion and Catholic Church:A Summary History” dalam Natural Law Forum, 12 (1967), hlm. 126. Bdk P. Go, Hidup dan Kesehatan (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 286-291.

[2] Daniel Callahan, Abortion Law, Choice and Morality (London:Collier Macurillan Ltd, 1970) hlm. 378-379-383.

[3] Daniel Callahan, Abortion…, hlm. 384.

[4] Hominisasi merupakan sebuah proses hasilpembuahan menjadi manusia personal atau individual; suatu peralihan atau keterjalinan manusia dari makhluk yang belum manusiawi kepada makhluk yang manusiawi. [Lihat P. Go,…, hlm. 46]

[5] Sacred Congregation for the Doctrine of Faith, Declaration on Procured Abortion, No. 5 (USA: St. Paul Books and Media, 1974). Selanjutnya disingkat SCDF.

[6] P. Go, Hidup…, hlm. 36.

[7] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 107-108; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 36.

[8] K, Bertens, Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 113. Bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37.

[9] P. Go, Hidup…, hlm. 37.

[10] K, Bertens, Keprihatinan…, hlm. 113.

[11] David Bohr, Catholic Moral Tradition (Hungtington: Our Sunday Visitor, Inc, 1989), hlm 266-267; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37-38.

[12] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109..

[13] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37-38..

[14] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 76.

[15] Kendati ada paham yang mengatakan bahwa persona atau kehidupan manusia itu dimulai saat penyawaan, ada juga orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya manusia baru sudah ada di dalam sperma. Maka peranan wanita hanyalah sebagai penampung dan perawat yang membesarkan janin itu dalam rahimnya. Dewasa ini ensoulment bukan lagi menjadi titik penting dalam diskusi abosi tetapi menjadi penentu kapan janin dianggap sebagi persona. Pergeseran ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kesadaran akan batasan-batasan bidang ilmunya. Semakin disadari bahwa ilmu kedokteran dan biologi tidak bisa mendiskusikan masalah ensoulment. Masalah penyawaan atau ensoulment adalah bagian dari teologi yang berhubungan dengan agama-agama. Kedokteran dan biologi berbicara sebatas hidup fisik-biologis manusia. [Lihat C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 76; bdk. K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 23.]

[16] SCDF, No. 12 dan 13.

[17] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 126; bdk. juga David Bohr, Catholic…, hlm. 267.

[18] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 69. Bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian (Yogyakarta:Kanisius, 2005) hlm. 194.

[19] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 71.

[20] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 69-70; bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak…, hlm. 115-116.

[21] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 71-72; bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak…, hlm. 109.

[22] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 72-73.

[23] K. Bertens, Aborsi…, hlm. 22.

[24] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 74-75.

[25] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109.

[26] Herman Embuiru, Katekismus Gereja Katolik (Ende: Arnoldus, 1995), no. 2274.

[27] Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri Dokumentasi Gerejawi No. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1996), No. 61.

[28] Ensiklik Evangelium Vitae, No. 53

[29] David Bohr, Catholic …, hlm 265-268.

Tidak ada komentar: