Senin, 11 Agustus 2008

the 8th habit

The 8th Habit, Melampaui Efektifitas dan Menggapai Keagungan
Pengarang : Stephen R. Covey
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Dunia yang terus berubah dan munculnya tantangan di berbagai bidang menuntut kita untuk melakukan sesuatu yang lebih. Menjadi efektif saja tidak cukup, panggilan manusia lebih besar dari pada itu. Stephen R. Covey menggelar peta untuk mencapai sesuatu yang lebih itu. Dalam bukunya The 8th Habit, Melampaui Efektifitas dan Menggapai Keagungan, Covey mengajak kita untuk memperhatikan diri kita dan orang-orang di sekitar kita untuk melampaui efektivitas dan mencapai keagungan.
Stephen R. Covey melakukan lompatan konseptual yang besar sekali dan memperkenalkan berbagai gagasan dan praktik yang amat memengaruhi hidup kita. Kemampuan untuk memperoleh hasil di perusahaan besar merupakan keahlian langka, dan buku ini mengajarkan caranya. Bagi pemimpin yang mengharapkan pelaksanaan yang luar biasa, petunjuk dalam buku ini betul-betul tak ternilai. Buku ini berisi banyak teori yang menghantar kita pada dua tujuan di atas: mencapai efektivitas dan keagungan. Teori tersebut bukan hanya bersumber pada olahan budi atau berdasarkan penelitian kepustakaan (library research), tetapi juga berdasarkan fakta-fakta, sharing pengalaman.
Prinsip kepemimpinan pribadi maupun organisasi yang menjadi tema utama buku ini akan membebaskan kegeniusan kita, mengilhami komitmen yang mendalam dan pelayanan yang tulus yang akan membuat hidup kita sungguh-sungguh memuaskan. Buku ini juga memaparkan bagaimana cara mendaki puncak prestasi dan mencapai pemenuhan diri. Sebelumnya Covey sudah menyebutkan tujuh kebiasaan yang memberi pandangan bagaimana mencapai suatu keefektifan, yakni Menjadi proaktif, Memulai dengan tujuan Akhir, Mendahulukan yang Utama, Berpikir Menang-menang (win-win), Berusaha Memahami Baru kemudian Berusaha Dipahami, Bersinergi, dan Mengasah gergaji.
Kebiasaan yang ke delapan, the 8th Habit adalah Menemukan suara Anda dan mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka”. Kebiasaan yang ke delapan ini terdiri atas dua bagian tema. Bagian pertama, berbicara tentang “Menemukan suara Anda”. Di bagian ini dipaparkan perlunya mengenal diri, kemampuan dan potensi yang kita miliki, yakni anugerah bawaan sejak lahir. Covey menggunakan istilah “suara” untuk menyebutkan hal itu. Suara diekspresikan lewat visi, disiplin, gairah dan nurani. Untuk menemukan suaramu, kamu perlu melatih talenta alamimu. Jangan biarkan siapapun meyakinkan kamu bahwa kamu mempunyai talenta yang unik atau ekspresi talenta yang unik. Kamu harus menemukan hal itu. Bukankah mengelikan bahwa kamu memiliki sebuah talenta yang tidak kamu ketahui. Kamu harus menemukan apa yang secara absolut kamu cintai untuk kamu lakukan. Kamu harus menemukan ketertarikanmu. Kemudian, kamu harus mendengarkan suara batin yang meneguhkan kesadaranmu yang membisikkan kepadamu apa yang paling benar dan tepat bagimu.
Bagian kedua membahas topik “Mengilhami orang lain untuk menemukan suara mereka”. Di bagian ini disajikan tentang gerak kita setelah mengenal diri kita. Gerak ini ditunjukkan dengan melakukan empat peran berikut: Pertama, menjadi panutan, atau menyajikan keteladanan. Menjadi panutan menghasilkan kewibawaan moral pribadi. Kepercayaan kepada kita akan muncul karena kita layak dipercaya. Kedua, merintis jalan. Merintis jalan menciptakan keteraturan tanpa perlu memaksakannya. Merintis jalan akan menghasilkan kewibawaan moral visioner. Ketiga, menyelaraskan. Menyelaraskan struktur, sistem dan proses merupakan perwujudan dari upaya untuk memupuk organisasi dan semangat kepercayaan, visi dan pemberdayaan. Menyelaraskan menghasilkan kewibawaan moral yang dilembagakan. Keempat, memberdayakan. Hal ini merupakan buah dari dari ketiga peran yang lain. Peran ini membebaskan potensi manusia tanpa memerlukan motivasi eksternal. Memberdayakan akan menghasilkan kewibawaan moral budaya. Dengan melaksanakan peran tersebut kita sedang bergerak membantu orang lain menemukan suaranya.
Dengan menemukan suara dan memiliki kemampuan untuk menjalankan peran di atas, kita akan menemukan “panggilan jiwa kita”, hidup penuh kebanggaan dan gairah yang luar biasa. Kita juga akan mampu untuk mulai “mengilhami orang lain untuk menemukan “panggilan jiwa mereka”. Kemampuan yang kita miliki tersebut mesti dibimbing oleh 4 kecerdasan: fisik (PQ), mental (IQ), emosi (EQ), spiritual (SQ), di mana ketiga kecerdasan yang pertama tunduk kepada kecerdasan yang terakhir, yang sering disebut hati nurani. Dengan proses itu hidup ini penuh makna dan keagungan.
Kebiasan kedelapan memberi pola pikir dan perangkat keahlian untuk secara terus-menerus menggali potensi yang ada di dalam diri manusia. Ini adalah jenis kepemimpinan yang mengomunikasikan kepada orang-orang mengenai nilai diri dan potensi mereka secara amat jelas, sehingga mereka mulai bisa melihatnya sendiri di dalam diri mereka, lewat kata-kata dan peran.
Esensi dari kebiasaan ini adalah menemukan suara kita. Apa yang menjadi indikasi bahwa kita menemukan suara kita? Covey berpendapat: kamu menemukan suaramu ketika kamu dapat mengatakan bahwa engkau 100% terlibat dalam apa yang kamu lakukan dengan kehidupanmu, yaitu 100% melibatkan tubuhmu, pikiranmu, hati, spiritmu, dan digunakan dalam petualangan apapun dalam hidupmu. Idenya sederhana: apapun yang kamu lakukan sejak sekarang dengan hidupmu, tanyakanlah dirimu pertanyaan ini: apakah hal ini melayani tubuhku, pikiran, hati dan spiritku? Atau secara lebih mendetail kamu bisa menanyakan empat pertanyaan berikut kepada dirimu. Pertama, apakah hal ini (pekerjaan, yang kamu lakukan) melayani kebutuhan-kebutuhan tubuhmu: apakah hal itu membawa kehidupan yang baik, apakah hal itu memberi makan, atau memberikan pakaian bagimu dan juga keluargamu dan menyediakan rumah idaman bagimu? Kedua, apakah hal itu melayani kebutuhan mentalmu: apakah kamu melihat hal itu memberi stimulus (rangsangan), menarik hati dan menantang? Ketiga, apakah hal itu memenuhi kebutuhan emosionalmu: apakah kamu mencintainya dan bergairah dengannya? Keempat, apakah hal itu memenuhi kebutuhan spiritualmu: apakah kamu percaya bahwa itu merupakan hal yang benar bagimu dan untuk kamu lakukan dengan hidupmu? Jika kamu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jawaban “YA”, maka dapat dikatakan bahwa kamu telah menemukan suaramu.
Covey mengatakan bahwa dalam realitas bisnis sekarang banyak orang tidak menemukan suaranya dan bahkan mereka kehilangan suaranya. Akibatnya orang pergi bekerja hanya untuk memperoleh uang, yakni melayani tubuh mereka, tetapi tidak sungguh melibatkan kreativitas, talenta dan inteligensi dalam pekerjaan mereka. Atau barangkali pekerjaan itu lebih dari pada melayani kebutuhan tubuhmu: barangkali juga hal itu secara mental (psikis) merangsang kamu, tetapi jika kamu memenangi lotere mungkin kamu dengan segera berhenti karena bukan hal itu yang kamu inginkan yang sebenarnya. Barangkali menjadi impian yang sangat sulit: mempunyai sebuah pekerjaan yang menghasilkan uang, yang sungguh menggairahkan dan menyukainya, tetapi itu masih tidak pantas untuk dilakukan.
Ketika kamu telah menemukan suaramu, kamu dapat mulai menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama, yang merupakan bagian kedua dari kebiasaan ini. Pemimpin yang besar selalu menginspirasikan kita untuk menemukan diri kita sendiri-menemukan suara kita dan menemukan suara organisasi kita yang merupakan esensi dari keagungan. Orang dan organisasi yang telah menemukan suara mereka akan berkembang menjadi besar. Saya harap Anda meluangkan waktu untuk menemukan keagunganmu milikmu.

Jumat, 08 Agustus 2008

ungkapan-ungkapan bermakna

Hanya sedikit di antara kita yang bisa melakukan hal-hal besar,
Tetapi semua orang di antara kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar.
Bunda Teresa dari Kalkuta

Memang menyenangkan menjadi orang yang penting,
Tetapi lebih penting menjadi orang yang menyenangkan.

Semua bayi dilahirkan dengan cerdas,
9.999 dari setiap 10.000 bayi itu dengan begitu cepat dan sembrono dijadikan tidak cerdas oleh orang-orang dewasa
Buckminster Fuller


Satu perahu berlayar ke timur dan satu lagi ke barat, padahal digerakkan oleh angin yang sama. Bentangan layar kitalah, dan bukan arah angin, yang menentukan ke mana arah kita. Seperti angin laut itulah alur nasib kita. Ketika kita mengarungi kehidupan, bentangan jiwa kitalah yang menentukan tujuannya, dan bukan ketenangan atau hiruk pikuknya. Ella Wheeler Wilcox.


Pada saat-saat yang dahsyat penuh keindahan,
emosi dapat meluluhkan orang yang paling sinis dan berkulit badak sekalipun.
Endorfin (yaitu sejenis morfin yang diproduksi oleh tubuh kita sendiri) mengalir. Ketegangan terurai. Energi, baik yang ada dalam diri kita maupun di luar diri kita mengalir dan saling terhubung.
Pengalaman yang muncul dari situ bukan hanya lembut dan tenang,
Tetapi juga mengandung kekuatan dan kreativitas alam jagad raya.
Mencipta dan bekerja secara sadar dengan momen-momen keterhubungan seperti itu berarti melatih apa yang bisa kita sebut sebagai otot spiritual dan kecerdasan spiritual kita. Apa yang saya maksud dengan spiritual? Tak lain dan tak bukan adalah keseluruhan realitas dan dimensi yang lebih besar, lebih kreatif, lebih penuh dengan rasa cinta, lebih kuat, lebih visioner, lebih bijak, lebih misterius, daripada eksistensi manusia sehari-hari yang bersifat materialistik
William Bloom.






Apapun yang memperlemah daya nalar Anda, juga mengurangi kelembutan dan kepekaan nurani Anda, menggelapkan pemahaman Anda akan Tuhan dan mengendurkan kegandrungan Anda terhadap hal-hal rohani; apapun yang membuat tubuh atau jasmani Anda semakin berkuasa atas pikiran Anda adalah dosa bagi Anda, betatapun hal itu tampaknya tak berbahaya.
Susana Wesley

Buah dari perenungan adalah DOA
Buah dari doa adalah IMAN
Buah dari iman adalah CINTA
Buah dari cinta adalah PELAYANAN
Buah dari pelayanan adalah KEDAMAIAN



Ketika kesegaran pagi hari telah sirna diganti oleh kepengapan dan kebosanan tengah hari, ketika otot-otot kaki gemetar menahan ketegangan, pendakian serasa tiada akhir, dan tiba-tiba segala sesuatunya terjadi di luar keinginan, itulah saatnya ketika Anda justru harus tetap teguh tidak ragu.
Dag Hammarskjold.


Orang sering keterlaluan, tidak logis, dan hanya mementingkan diri;
Bagaimanapun, maafkanlah mereka.
Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih;
bagaimanapun berbaik hatilah.
Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu,
dan beberapa sahabat sejati;
Bagaimanapun jadilah sukses.
Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu;
Bagaimanapun jujur dan terbukalah.
Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun
Mungkin saja dihancurkan orang lain hanya dalam semalam;
Bagaimanapun bangunlah.
Bila engkau mendapat ketenangan dan kebahagiaan, mungkin saja orang lain jadi iri;
Bagaimanapun berbahagialah.
Kebaikan yang engkau lakukan hari ini
Mungkin saja besok sudah dilupakan orang;
Bagaimanapun berbuat baiklah
Bagaimanapun berikan yang terbaik dari dirimu.
Engkau lihat,
Akhirnya ini adalah urusan antara engkau dan Tuhanmu;
Bagaimanapun ini bukan urusan antara engkau dan mereka.

Bunda Teresa dari Kalkuta.

UNGKAPAN-UNGKAPAN KEBIJAKSANAAN DALAM SASTRA BATAK TOBA

Manusia adalah makhluk berakal budi dan memiliki daya seni. Untuk mengekspresikan diri dan buah pikirannya manusia biasanya mencari dan menciptakan sarana yang dianggap efektif. Pepatah atau ungkapan-ungkapan kebijaksanaan merupakan salah satu hasil budi manusia yang menjadi sarana pengungkapan sesuatu kepada sesamanya.
Dalam budaya Batak Toba terdapat ungkapan atau pepatah yang digunakan sebagai sarana efektif untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Ungkapan atau pepatah tersebut diturunkan turun-temurun dari generasi ke genarasi. Siapa pengarang atau pencipta ungkapan-ungkapan tersebut sudah sangat sulit diteliti. Namun, “Ompungta sijolojolo tubu” (Nenek moyang kita yang lebih dahulu lahir) sering dirujuk sebagai sumber dari ungkapan atau pepatah tersebut. Berikut ini saya akan menuliskan beberapa ungkapan dari budaya Batak Toba beserta makna dan maksud ungkapan tersebut. Setelah itu saya juga akan mencoba mencatat ungkapan sastra kebijaksanaan dari ayat Kitab Suci yang berkaitan atau mirip dengan ungkapan-ungkapan tersebut.
1. Nunut do si raja ni ompuna
Secara harafiah ungkapan di atas dapat diartikan dengan: keuletan adalah raja dari kepemilikan. Secara lebih luas dapat diartikan dengan: keuletan, kerajinan dan kesabaran bekerja adalah cara yang terbaik untuk meraih keberhasilan.
Amsal 19:15, “Kemalasan mendatangkan tidur nyenyak dan orang yang lamban akan menderita lapar.” Kutipan Amsal tersebut dapat dihubungkan dengan ungkapan Batak Toba di atas, yakni hubungan kebalikan.
Amsal 28: 19 , “Siapa mengerjakan tanahnya akan kenyang dengan kebaikan, tetapi siapa mengejar barang yang sia-sia akan kenyang dengan kemiskinan.”
Amsal 12: 27 , “Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga.”
2. Hata mamunjung hata lalaen, hata torop sabungan ni hata.
Ungkapan di atas dapat diartikan dengan: jalan pikiran seseorang adalah tidak waras, jalan pikiran orang banyak adalah induknya. Ungkapan di atas digunakan untuk menggambarkan bahwa biasanya pikiran atau pendapat orang banyak lebih baik. Maka, seseorang perlu mendengar pendapat orang banyak sebelum mengambil suatu keputusan.
Amsal 12:15, “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasehat ia bijak”.
3. Aek na manuntun gogona, alogo manuntus gotusna.
“Arus sungai yang nekat menggunakan kekuatannya, angin yang nekat menggunakan tiupannya”, demikian arti harafiah ungkapan di atas. Hal ini dikatakan kepada orang yang nekat melakukan suatu pekerjaan tanpa ada kemauan untuk mendengar nasehat orang lain. Dengan ungkapan ini orang yang mendengarnya diajak agar mau mendengarkan nasehat dan pertimbangan dari orang lain. Sebab, banyak hal tidak kita lihat jika hanya mengandalkan diri sendiri.
Amsal 11:14, “Jika tidak ada pimpinan jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.”
Amsal 28:26, “Siapa percaya kepada hatinya sendiri adalah adalah orang bebal, tetapi siapa berlaku dengan bijak akan selamat”.
4. Ampal tu jae ampal tu julu songon hortuk ni aili.
Secara harafiah ungkapan dapat diartikan dengan: bergoyang ke hilir, bergoyang ke hulu seperti taring babi hutan. Hal ini dikatakan kepada orang yang tidak mau tenang, selalu bergerak dan berpindah tanpa rencana. Pikirannya mudah berubah, terombang-ambing dan tidak punya pendirian teguh.
Amsal 14: 15, “Orang yang tak berpengalaman percaya kepada setiap perkataan, tetapi orang bijak memperhatikan langkahnya.”
5. Anak na olo tu jolo do sibulang-bulangan.
Ungkapan di atas adalah nasehat bagi anak. Arti harafiahnya adalah hanya anak yang mau ke depan yang diberi bulang-bulang (ulos yang meliliti kepala). Secara lebih luas ungkapan hendak menyatakan bahwa anak pemberani dan bijaklah yang diberi penghormatan dan pujian.
Amsal 3:35, “Orang bijak akan mewarisi kehormatan.”
Sirakh 4: 11-13, “Kebijaksanaan meninggikan segala anaknya, dan orang mencarinya dihiraukannya. Siapa yang mencintai kebijaksanaan mencintai kehidupan, dan barangsiapa pagi-pagi menghadapinya akan penuh sukacita. Siapa yang berpaut padanya akan mewarisi kemuliaan dan ia diberkati Tuhan di manapun ia berlangkah.”
6. Binuangnuang ganda, hinolitninolit mago.
Ungkapan di atas secara harafiah dapat berarti: boros tapi bertambah, pelit ternyata jadi susah. Lebih jauh makna ungkapan tersebut: bila seseorang suka memberi, ia akan murah rezeki, tetapi orang yang pelit, agak berat memberi akan sulit rezekinya. Ungkapan di atas berasal dari fakta yang ditemukan dalam hidup sehari-hari.
Amsal 11:24, “Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa namun selalu kekurangan.”
7. Sinuan bulu sibahen na las, sinuan uhun sibahen na horas.
“Kita menanam bambu karena menginginkan kehangatan, kita menciptakan hukum karena kita mengharapkan keselamatan”. Aturan, hukum dan adat istiadat diciptakan para leluhur demi kebahagiaan masyarakat. Dengan itu juga hendak disampaikan bahwa orang yang menaati aturan, hukum dan adat istiadat akan memperoleh keselamatan.
Amsal 10:17, “Siapa mengindahkan didikan, menuju jalan kehidupan, tetapi siapa mengabaikan teguran tersesat.”
Amsal 11:19, “Siapa berpegang pada kebenaran yang sejati menuju hidup, tetapi siapa mengejar kejahatan, menuju kematian.”
8. Sahalak maniop sulu, sude halak marsuluhonsa.
Arti harafiah ungkapan di atas: seorang memegang suluh, semua orang merasakan terangnya. Ungkapan tersebut kerapkali digunakan untuk menasehati orang agar berbuat baik, karena dengan kebaikan seseorang mendatangkan kebahagiaan bagi banyak orang. Ungkapan tersebut boleh juga dikatakan untuk seorang yang memberi pedoman yang baik dan semua orang mau melakukan perintah tersebut beroleh kebaikan.
Amsal 11:11, “Berkat orang jujur memperkembangkan kota, tetapi mulut orang fasik meruntuhkannya.”
Sirakh 37:23, “Tetapi ada juga orang bijaksana yang mendidik bangsanya sendiri, dan yang hasil kebijaksanaannya terjamin adanya.”
9. Marsitijur dompak langit, madabu tu ampuan.
Ungkapan di atas dapat berarti: meludah ke arah langit, jatuhnya ke pangkuan. Menjelek-jelekkan saudara sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, efek negatipnya tanpa disadari ditanggung sendiri.
Amsal 19:26, “Anak yang menganiaya ayahnya atau mengusir ibunya, memburukkan dan memalukan diri.”
Amsal 20:20. “Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya akan padam waktu gelap.”
10. Maraprap so magulang, turikan na so marnganga
“Mendapat luka terkelupas yang tidak jatuh terguling, bopengan yang tidak pernah berpenyakit campak”, demikian ungkapan tersebut diatikan secara harafiah. Secara lebih luas ungkapan tersebut berarti dan dikenakan kepada seseorang yang menderita, ikut dihukum, namun sama sekali tidak ikut berbuat kesalahan. Dalam kehidupan sehari-hari kadang terjadi orang yang sebenarnya tidak berbuat sesuatu salah yang mendatangkan keburukan bagi dirinya. Orang sering tidak membayangkan bahwa sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya. Maka sebagai ungkapan ketidakmenerimaannya atas situasi itu ia menggunakan ungkapan ini.
Ayub 9:22, “Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinaskan-Nya”
11. Marbingkas do na uli marbonsir do na roa.
Ungkapan di atas berarti: keberuntungan ada jalannya, kesusahan ada penyebabnya. Kata “bingkas’ dan “bonsir” mempunyai arti yang sama yakni untuk menunjukkan “sebab”. Namun “bingkas” lebih kepada sebab untuk yang positip, sedangkan “bonsir” untuk penyebab yang negatif. Kebaikan dan keberuntungan ada jalannya (tidak datang dengan sendirinya) dan kesusahan yang kita alami ada penyebabnya (ada faktor-faktor dari diri kita yang menyebabkan)
Ayub 4:8, “Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan ia menuainya juga.”.
Amsal 10:16, “Upah pekerjaan orang benar membawa membawa kehidupan, penghasilan orang fasik membawa kepada dosa”.
12. Jujur do mula ni bada bolus do juma di hadengganon
Ungkapan tersebut dapat diartikan dengan: Menghitung-hitung adalah awal dari perselisihan, melupakan awal dari kebaikan. Secara lebih luas ungkapan tersebut berarti: bila kita menghitung-hitung perbuatan baik yang kita lakukan kepada orang lain dan perbuatan orang lain kepada kita, kita telah memulai perselisihan. Tetapi melupakan semua itu adalah awal dari kedamaian atau kebaikan. Ketika seseorang mulai menghitung jasanya, saat itu juga dia sudah mulai menilai perbuatan atau jasa orang lain dan membanding-bandingkannya. Dari tindakan inilah kerapkali muncul persoalan.
Amsal 21:14’ “Pemberian dengan sembunyi-sembunyi memadamkan marah, dan hadiah yang dirahasiakan meredakan kegeraman yang hebat.
13. Jolo nidilat bibir asa nidok hata.
Ungkapan di atas digunakan sebagai nasehat supaya orang berpikir masak-masak sebelum mengungkapkan sesuatu atau berbicara. Hal ini diungkapkan mengingat banyak persoalan dapat muncul karena kata-kata yang keluar dari mulut, kurang dipikirkan dan dipertimbangkan.
Amsal 23 dicatat, “Siapa memelihara mulut dan lidahnya memelihara diri dari kesukaran”.
Penutup
Ungkapan-ungkapan kebijaksanaan Batak Toba di atas masih digunakan hingga sekarang dan diwariskan baik melalui sarana non formal maupun formal. Ungkapan-ungkapan di atas mungkin tidak memiliki makna persis dengan ungkapan sastra kebijaksanaan dari Kitab Suci. Konteks budayanya berbeda. Namun kedua sastra tersebut saya lihat memiliki memiliki kemiripan nuansa makna. Saya dapat menyimpulkan bahwa unsur-unsur didaktis dan kemampuan merangkai kata untuk menyampaikan suatu pesan sudah mentradisi dalam budaya batak Toba.

Selasa, 05 Agustus 2008

persona - moral


PAHAM TENTANG PERSONA

1. Pengantar

Hidup manusia adalah pemberian Allah. Dalam pengertian tersebut hidup itu bukan hasil kreasi manusia. Dalam diri manusia terdapat kelebihan dan keutamaan yang tidak dimiliki oleh ciptaan lainnya. Hanya manusia yang disebut persona. Dalam bioetika disebut sebagai makhluk persona. Konsep persona penting dan berhubungan erat dengan hak untuk hidup serta masalah-masalah etika, hukum, “kebijaksanaan” pada awal dan akhir hidup manusia. Berhadapan dengan hidup manusia yang begitu kompleks, kerapkali pertanyaan mendasar seputar manusia muncul. Sejak kapan manusia disebut persona atau sejak kapan hidup itu dimulai?

2. Awal Kehidupan

Berbicara tentang persona, kiranya tidak lepas dari pembicaraan tentang awal kehidupan. Kapan hidup manusia sebagai individu dan personal? Bagi banyak pemikir inilah sebenarnya jantung persoalan tentang persona. Apakah hidup manusia dimulai sejak pembuahan ataukah sesudahnya? Banyak ahli menyatakan bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan, bukan waktu kelahiran. Janin sebagai hasil pembuahan dapat disebut hidup baru, manusia baru yang membawa hasil identitas genetik yang unik. Tetapi dalam prosesnya belum atau tidak dikatakan sebagai manusia personal. Ada juga berpandangan bahwa hidup manusia dimulai sesudah proses pembuahan. Kalau demikian kriteria mana yang dipakai untuk mengetahuinya? Berikut kami paparkan beberapa pandangan.

2. 1 Teori Genetika

Teori ini menegaskan bahwa status persona telah ada pada awal kehidupan sekaligus mengakui hidup manusia dimulai pada saat pembuahan. Saat (insan) janin dikandung, ia telah diakui sebagai manusia sebab ia memiliki potensi untuk menjadi manusia. Kriteria manusiawinya sangat sederhana dan mencakup semua: jika suatu insan dikandung seorang wanita (ibu), ia adalah manusia. Ia selanjutnya menyatakan bahwa suatu insan yang dikandung oleh manusia (wanita) dan berpotensial untuk mampu bertindak seperti manusia, insan itu adalah manusia. Jadi yang penting ialah sifat manusiawinya yang terbentuk dari seorang laki-laki dan seorang wanita. [1]

Saat pembuahan berlangsung, terjadi perubahan yang sangat jelas dan cepat dalam kemungkinan-kemungkinannya yang sangat menentukan. Meskipun alasan kemungkinan-kemungkinan itu tidak diarahkan kepada pembentukan kemanusiawian, tetapi ia masuk dalam perdebatan moral. Kriteria terjadinya proses pemanusiawian ialah waktu pembuahan insan itu menerima kode genetiknya. Kode genetiknya tersebut merupakan informasi genetik yang membatasi karakteristik sebagai manusia, yang secara biologis membawa kemungkinan kebijaksanaan manusia. Insan yang memiliki kode genetik manusia adalah homo sapiens dalam potensi.[2] Proses pemanusiawian (hominisasi) merupakan kriteria untuk mendefinisikan kepribadian manusia. Embrio dalam setiap tahapnya berkembang untuk mencapai kehidupan, suatu kehidupan individual. Oleh karena itu embrio atau janin harus dipertimbangkan sebagai persona. Status persona sudah ada di dalam janin meski masih “totipotensial”.[3]

2.2 Pandangan Perkembangan

Menurut pandangan perkembangan, kode genetik tidak cukup untuk menyediakan perkembangan lebih lanjut, tetapi perlu adanya perkembangan lebih lanjut dan interaksi dengan lingkungan supaya dapat disebut persona manusiawi dalam arti yang sebenarnya. Pandangan perkembangan mempunyai kaitan dengan hominisasi. Hominisasi terdapat dalam perkembangan. Perkembangan biologis yang bermula dari pembuahan adalah suatu rangkaian kontinuitas. Proses perkembangan selanjutnya yang mengarah kepada sosialitas lebih ditekankan. Peristiwa inilah yang disebut hominisasi.[4]

2.3 Pandangan Moral Kristen

Gereja Katolik lewat Kongregasi Ajaran Iman, khususnya dalam Declaration on Procured Abortion menyatakan secara tegas pandangan moralnya. Meskipun banyak orang meragukan mengenai entitas hasil pembuahan, apakah janin sudah seorang manusia, Gereja pada prinsipnya berpandangan bahwa melaksanakan pemusnahan atas sesuatu yang akan menjadi pribadi manusia, yang sedianya adalah manusia, secara obyektif adalah suatu dosa yang serius. Gereja secara terang dan jelas mengakui bahwa hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan hidup personal di dalamnya.[5]

Gereja menyadari bahwa perdebatan-perdebatan sekarang ini, terkait dengan permulaan hidup manusia, individualitas manusia dan identitas pribadi manusia. Posisi dan jawaban Gereja atas persoalan tersebut sangat tegas bahwa sejak sel telur dibuahi suatu kehidupan telah dimulai. Hidup itu bukan lagi hidup orangtunya, melainkan manusia baru. Hidup itu tidak akan pernah menjadi manusia jika bukan manusiawi sebelumnya. Sejak tahap pertama telah tersusun program tentang bagaimana makhluk hidup itu adanya di masa yang akan datang: seorang pribadi, individu dengan aspek-aspek karakteristiknya.

3. Pengertian Persona

3.1 Pengertian Persona secara Etimologis

Kata “persona” berasal dari bahasa Etruskia yakni “phersu yang berarti topeng. Dalam bahasa Yunani istilah persona dikenal dengan kata πρόσωπον (“prosopon”), yang berarti wajah. Istilah tersebut sering digunakan dalam pertunjukan drama, dunia sandiwara maupun seni peran lainnya, di mana para pemain mengenakan topeng untuk memainkan suatu peranan tokoh tertentu.[6] Kata persona juga dipakai dalam budaya Romawi kuno yang berarti peran atau topeng; peran dalam permainan drama maupun peran yang dimainkan seseorang dalam hubungan keluarga. Topeng itu menutupi atau menyembunyikan wajah dari si pemain. Jadi pribadi tokoh itu diambil alih dalam bentuk lakon topeng. Dari balik topeng itu si pemain harus berbicara lebih keras dari biasanya. Sebenarnya, yang di balik topeng itulah yang harus dicari dan ditemukan. Di kemudian hari karena adanya persamaan antara topeng dengan pemainnya, persona diartikan sebagai aktor. Jadi, persona itu adalah pemain, aktor yang sebenarnya. Kata persona sebagai istilah muncul dari kata personare (Latin), yang berarti menyuarakan ke segala arah.[7]

3.2 Pengertian Persona menurut Beberapa Tokoh

Banyak tokoh mencoba memberi arti dan makna terhadap kata persona. Pandangan mereka cukup unik dan juga berbeda-beda. Berikut kami catat beberapa pandangan tokoh yang berbicara tentang persona:

Severinus Boethius (480-524) mengartikan persona sebagai substansi individu dari suatu kodrat relasional (persona est naturae ratinalis inciviua substansia). Substansi individu tersebut tidak terbagi dan berkodrat rasional. Definisi ini memainkan peranan besar dalam tradisi sesudahnya dan antara lain diambil alih oleh Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mengartikan persona sebagai substansi individu (tunggal) yang berkodrat rasional dan menjadi dirinya sendiri. Persona adalah suatu substansi yang komplit atau lengkap, hidup dengan dirinya dan berbeda dari yang lain.[8]

Rene Descartes (1596-1650) menekankan segi kesadaran diri pada persona dengan ungkapannya “cogito ergo sum.” Menurutnya, persona itu ada bila ia berpikir. Penentu ada tidaknya persona adalah pikirannya sendiri. Sementara itu, Imanuel Kant (1724-1804) menekankan segi rasionalitas manusia dengan mengatakan persona merupakan subyek rasional. Sebagai subyek rasional, persona dalam dirinya sendiri mampu melaksanakan kebebasannya sebagai bentuk otonominya. Bagi Kant otonomi merupakan prinsip moralitas tertinggi. Persona itu mampu untuk berbuat sesuatu bukan karena dorongan atau pengaruh dari luar, tetapi lebih karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Lebih lanjut lagi Imanuel Kant menekankan bahwa persona adalah tujuan dan bukan sebagi sarana. Persona harus diperlakukan sebagai tujuan dari dirinya sendiri dan tidak pernah boleh dipakai sebagai alat atau sarana mencapai tujuan tertentu.[9]

Kemudian teolog Jerman, Karl Rahner, masih memberi definisi tentang persona dalam konteks yang sama: ”the actual unique reality of spiritual being, an undivedwhole existing independently and not interchangeable with any other”. Selanjutnya, Norman Ford mencoba merumuskan definisi khusus dalam konteks antropologis: “A person is a living indiviual with a truly human natural”. Individualitas mengandaikan identitas yang terentang dalam waktu. Orang dewasa adalah identik dengan orang yang pernah menjadi bayi, anak, remaja, adolosen, dan sebagainya.[10]

3.3 Unsur-unsur Penentu bagi Persona

Dari pemaparan di atas, terdapat aneka pengertian atau definisi persona. Merumuskan pengertian atau definisi yang sempurna dan komplit tentang persona rasa-rasanya sulit, karena manusia adalah makhluk yang kompleks. Seperti sudah dikatakan dalam pengantar di atas, dalam bioetika konsep persona adalah penting karena berhubungan erat dengan hak untuk hidup serta masalah-masalah etika, hukum, “kebijaksanaan” pada awal dan akhir hidup manusia, dan lain-lain. Persona adalah mahkluk yang berakal budi dan berkehendak, yang otonom, dll. Setiap persona memiliki hak untuk hidup dan dilindungi. Bayi dalam kandungan, orang yang tua, orang cacat dan orang gila sekalipun merupakan persona. Ia memiliki kepribadian dan hak untuk hidup, serta hak untuk dilindungi.[11]

Dalam hukum dan etika, hak dihubungkan dengan kewajiban. Oleh karena itu harus ditentukan kapan manusia atau persona itu dapat bertanggungjawab dan mempunyai kewajiban. Pada saat itulah persona dalam hukum dan etika diakaui mempunyai hak. Perlindungan hak untuk hidup pun dikaitkan dengan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai manusia. Bila ia belum bisa menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya, haknya pun belum dilindungi.[12]

Persona dalam bioetika tidaklah sama dengan pemahaman dalam hukum dan etika. Memang sulit merumuskan persona secara definitif. Kendati demikian, kiranya ada beberapa poin yang muncul, baik secara ekspilisit maupun implisit, yang dapat disebut sebagai kriteria atau unsur penentu bagi persona, sebagai berikut:

a. Memiliki kesadaran, yakni kesadaran dalam arti mampu merespon terhadap rangsangan yang terjadi di dalam dan di luar dirinya, terutama merasakan adanya sakit.

b. Memiliki pikiran ratio, atau akal budi, yakni kemampuan untuk mengatasi suatu problem yang baru dan kompleks.

c. Memiliki kehendak atau aktivitas yang didorong dari dalam dirinya, yakni suatu aktivitas yang tidak tergantung dari kontrol dan rangsangan di luar dirinya.

d. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan berbagai macam cara, yakni menerima dan mengirim signal sehingga dapat ditangkap oleh subyek lainnya.

e. Kehadiran akan konsep diri dan kesadaran diri, baik sebagai individu maupun kelompok.

Kalau ada makhluk hidup yang tidak mempunyai salah satu kriteria tersebut di atas, ia bukanlah persona. Karena ia bukan persona, ia bukan pelaku atau subyek juga bukan objek moral dan hukum. Oleh karena itu ia tidak perlu mendapat perlindungan hukum dan moral. [13]

4. Perkembangan Paham Persona

Selain pandangan tokoh di atas, terdapat juga teori atau pandangan yang mencoba merumuskan secara lebih luas saat atau kapan disebut persona. Berikut ini akan dipaparkan menurut beberapa teori tentang kehidupan manusia dari masa pembuahnnya serta saat dimulainya janin dianggap sebagai persona.

4.1 Persona Menurut Teori Endsoulment atau Animation

Endsoulment atau Animation berarti penyawaan. Penyawaan ini terjadi pada saat masuknya roh atau jiwa ke dalam janin. Ada dua teori yang sangat menonjol: animatio simultan dan animatio successif. Teori pertama menyebutkan bahwa jiwa manusia terbentuk sejak pembuahan. Sementara teori animatio successif berpendapat bahwa jiwa terbentuk secara bertahap. Peristiwa itu terjadi ketika janin berumur 40 hari (untuk janin laki-laki) dan 90 hari (untuk janin wanita). Masuknya jiwa ke dalam janin tersebut ditandai dengan gerakan dalam rahim ibu (quickening). Penganut teori ini tidak menerima hidup personal sejak awal pembuahan. [14]

Menurut orang-orang yang menganut teori ini, sebelum nyawa (jiwa) masuk ke dalam janin, janin itu boleh digugurkan. Akan tetapi bila sudah mendapat nyawa, janin tidak boleh digugurkan. Pendapat seperti itu dianut oleh banyak orang selama berpuluh-puluh tahun termasuk oleh Gereja Katolik. Paus Gregorius XIV pernah mengatakan hukuman ekskomunikasi hanya berlaku, bila seseorang melakukan aborsi pada saat janin yang sudah berjiwa. Kalau aborsi dilakukan sebelumnya dia tidak diekskomunikasi dari Gereja meskipun pelakunya tetap berdosa. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman Gereja sangat dipengaruhi oleh perkembangan pandangan pada jamannya. [15]

Gereja katolik lewat Declaration on Procured Abortion, 18 Nopember 1974 cenderung menganut teori animatio simultan. Dengan pembuahan sel telur, mulailah hidup yang bukan hidup bapa dan bukan hidup ibu, melainkan hidup makhluk manusia baru. Ilmu genetika modern jelas meneguhkan hal ini, yang selalu nyata dengan jelas, dan yang sama sekali tidak disentuh diskusi tentang saat pasti penjiwaan. Jadi boleh dikatakan bahwa sejak konsepsi sudah ada hidup manusia yang terus berkembang menjadi manusia sempurna. Maka, sejak awal kehidupan manusia harus dilindungi. [16]

4.2 Bidang Biologi

Argumen biologi terkait dengan status persona sudah diungkapkan lewat teori genetika pada pembahasan awal. Sudah sejak pembuahan terjadi persona manusia. Sejak pembuahan identitas janin sebagai manusia sudah terbentuk. Sejak itu, janin tidak lagi berupa potential person, tetapi seorang persona yang mempunyai potensi untuk berkembang dan mengaktualkan dirinya dengan memfungsikan organ tubuhnya untuk berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Dengan kata lain, persona sudah ada sejak awal, hanya saja belum berfungsi seperti orang dewasa. Ketidakberfungsian itu tidak boleh menjadi alasan untuk menghilangkannya.[17]

Tahap-tahap perkembangan janin itu adalah sebagai berikut:

4.2.1 Pembuahan

Pembuahan adalah pertemuan antara sel sperma dan sel telur. Pembuahan terjadi di saluran telur atau ampulla regina of the uterine tube. Dalam pembuahan berarti inti sel sperma masuk ke dalam sel telur. Dengan demikian di dalam sel itu sendiri ada dua inti sel, yakni inti sel (pronucleus) sperma dan ovum. Ketika terjadi kontak membran antara sel sperma dan sel telur maka keduanya segera mulai berfungsi satu sama lain. Karena fungsi membran, inti sel telur dan inti sel sperma menjadi satu. Dengan demikian pembuahan berakhir. Proses pembuahan itu berlangsung kira-kira selama 24 jam. Sel telur yang sudah dibuahi disebut zygot (bahasa Yunani, zygotos yang berarti dirangkai bersama-sama).[18]

4.2.2 Proses Pembelahan dan Pembentukan Kromosom

Setelah selesai proses pembuahan maka ke-23 kromosom yang dibawa oleh sel telur bersatu dengan ke-23 kromosom yang dibawa oleh sel sperma, sehingga keduanya membentuk 46 kromosom lengkap dalam diri manusia. Zygot juga sudah membentuk susunan genetikanya tersendiri yang tidak sama dengan orang tuanya. Zygot akan terus membelah diri. Ia berkembang (membelah diri) dengan memakai energi yang ada dalam sel itu sendiri. Setelah 30 jam sesudah pembuahan ia akan menjadi 2 sel dan setelah 48 jam akan menjadi 4 sel, kemudian menjadi 8 sel, dan seterusnya. Pada tahap 8 sel ini janin bersifat totipotens, artinya mempunyai kemampuan untuk menjadi semua sel yang diperlukan untuk membentuk manusia utuh. Setiap sel mempunyai kemampuan atau potensi untuk menjadi makhluk hidup utuh, tersendiri. Dari 8 sel itu bisa terjadi 8 makhluk hidup utuh. [19]

Zygot yang sudah membentuk susunan genetikanya tersendiri yang tidak sama dengan orang tuanya itu akan berjalan menuju ke rahim dengan energi yang berasal dari sel itu sendiri. Zygot sudah mandiri dan menjadi individu yang baru. Karena itulah ia bisa hidup di luar rahim ibunya. Setelah selesai fusi sel telur dan sel sperma ini, maka seluruh masa depan orang itu sudah ada di dalamnya. Potensi aktif manusia sudah ada, hanya saja tinggal menunggu perkembangan lebih lanjut untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Penentuan jenis kelamin juga terjadi pada saat pembuahan ini yang ditentukan oleh spermanya. [20]

4.2.3 Terbentuknya Morula

Pada hari ketiga janin sudah menjadi 16 sel. Pada tahap ini janin disebut morula, karena berbentuk seperti buah mulberry (buah besaran). Morula berjalan di saluran telur dan pada umur 3 atau 4 hari akan dinamai blastokista. Pada tahap ini sel-sel yang ada di bagian dalam (embrioblast) akan menjadi bayi, sel-sel yang ada di bagian luar (trophoblast) akan menjadi ari-ari (placenta). Bersama dengan pembelahan sel ini, janin pelan-pelan berjalan ke saluran telur menuju rahim. Pada umur 4-5 hari morula sampai di rahim. Pada hari ke-6 mulai proses menempel di dinding rahim. Pada hari ke-8 sebagian sel sudah tertanam, masuk di dinding rahim. Seluruhnya sudah tertanam pada hari ke-11 atau ke-12. Pada hari ke-14 seluruh proses penempelan di dinding rahim sudah selesai. Mulai saat itu terbentuklah jaringan antara blastokista dan endometrium (dinding rahim). Dan dalam skala yang lebih besar membuat jaringan dengan ibunya; untuk mendapat supply makanan dan oksigen. [21]

4.2.4 Proses Pembentukan Spesialisasi Sel-sel

Pada umur 15 hari sel tersebut mulai dengan spesialisasi. Pada tahap ini sudah bisa dibedakan bagian mana yang akan menjadi janin dan bagian mana yang menjadi plasenta. Pada bagian yang akan menjadi janin mulai terbentuk primitive streak, yakni pendahuluan terbentuknya tulang belakang, urat saraf. Mulai dari umur 15 hari ini perkembangannya sangat cepat. Pada tahap ini terjadi proses spesialisasi sel-sel, di mana masing-masing sel mengkhususkan diri untuk membentuk salah satu organ manusia. Sel-sel yang sudah terspesialisasi itu walaupun berbeda jenis dan wujudnya ternyata informasi genetisnya tidak berubah atau berkurang. Semuanya tetap sama. Maka seluruh sel somatis manusia, yakni semua sel manusia, kecuali sel telur dan sel sperma mempunyai informasi genetis yang sama, yang terdapat dalam 46 kromosom dengan struktur DNA yang sama satu sama lainnya. [22]

Pada umur 30 hari sudah muncul usus, hati dan jantung. Pada akhir minggu ke-4 jantung sudah mulai berdetak untuk mengalirkan darah dalam pembuluh darah primitif janin itu. Pada tahap ini juga mulai muncul perkembangan otak. Otak merupakan syarat bagi persona dalam arti sebenarnya. Tidak mungkin dibayangkan persona tanpa otak yang berfungsi. Dalam embrio sendiri fungsi itu sudah disajikan secara potensial. [23]

4.2.5 Terbentuknya Organ Tubuh

Pada umur antara 6 dan 8 minggu embrio ini sudah menjadi miniatur manusia yang punya organ tubuh yang cukup lengkap, yakni munculnya kaki dan tangan yang utuh dengan jemarinya, mata, telinga dan hidung. Maka janin ini sering disebut dengan fetus. Pada umur 18 sampai 22 minggu pergerakan fetus mulai dirasakan. Namun sebenarnya pada umur 10 minggu pun fetus sudah mulai bergerak. Pada umur 24 sampai 26 minggu terjadi pematangan pertumbuhan organ tubuh bagian dalam. Paru-paru mulai berfungsi untuk pertama kali. Korteks serebri juga mulai berfungsi dengan baik mengatur kesadaran. Karena sudah cukup berkembang maka tahap ini disebut tahap viability, sebab mulai tahap itu fetus bisa hidup di luar kandungan ibunya dengan bantuan tekhnologi modern. [24]

Yang paling menarik dari seluruh proses perkembangan janin ini adalah kontinuitas, koordinasi intern dan gradualitasnya. Janin berkembang secara kontinu, tidak terputus-putus dalam tahapan tertentu. Perkembangan janin itu dikoordinir oleh program genome internal, yakni program yang sudah tertulis di dalam genome masing-masing janin ketika terjadi pembuahan. Komando internal ini memungkinkan perkembangan dari satu sel menjadi miliaran sel tanpa harus berubah subyeknya. Oleh karena perkembangan itu dikomando dari dalam sel itu sendiri, maka terjadi perkembangan sedikit demi sedikit, tetapi subyek yang berkembang itu bukan subyek yang lain dari sebelumnya. Ia berkembang bukan dari benda mati menjadi makhluk hidup, tetapi berkembang dari makhluk hidup yang terdiri dari satu sel dan menjadi makhluk hidup dengan miliaran sel. Perkembangan janin yang dikomando dari dalam, gradual, terarah dan berkesinambungan itu menjamin kesatuan identitas, individualitas, dan keunikannya sejak pembuahan sampai menjadi dewasa dan mati. [25]

4.3 Pandangan Moral Kristiani

Berkaitan dengan hidup persona, persfektif moral kristiani berfokus pada martabat manusia sebagai citra Allah. Dalam ajaran moral kristiani tidak dijelaskan secara eksplisit apa itu persona. Namun secara implisit, dalam beberapa dokumen Gereja kita, ditemukan pernyataan-pernyataan yang menyinggung tentang hal itu. Katekismus Gereja Katolik dan ensiklik Evangelium Vitae tidak secara langsung memberikan definisi atau pengertian tentang apa itu persona. Kedua dokumen ini lebih sering menggunakan istilah pribadi yang kiranya juga mempunyai arti yang sama dengan persona.

Dalam Katekismus dikatakan bahwa embrio adalah pribadi (persona). Oleh karena itu embrio harus diperlakukan sebagai pribadi sejak pembuahan. Embrio, sebagaimana pribadi manusia yang lain, sebisa mungkin harus dipertahankan keutuhannya, dirawat dan dihargai kehidupannya.[26] Ia (sebagai persona) punya hak yang sama dengan manusia, sebab ia sungguh manusia. Pernyataan ini didukung oleh ensiklik Evangelium Vitae. Dalam ensiklik ini diutarakan bahwa apa yang disebut sebagai bakal manusia, pada saat itu juga sudah manusia. Hal ini disinggung ketika berbicara mengenai pengguguran (pembunuhan). Selengkapnya dikatakan bahwa tidak banyak perbedaannya, apakah orang membunuh jiwa yang sudah lahir, pada saat lahir, atau sebelum lahir. Ia yang suatu ketika akan menjadi manusia, sekarang pun sudah manusia. [27]

Gereja Katolik memandang bahwa kehidupan seorang manusia dimulai setelah sel telur bersatu (dibuahi) sel sperma. Maka janin dalam kandungan itu secara prinsipiil bernilai sama dengan seorang manusia yang sudah lahir. Allah menciptakan dunia dengan segala isinya. Ia juga menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Maka janin pun sudah bermartabat sebagai citra Allah (bdk. Kej 1:26-27). “Hidup manusia harus dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena sejak awalnya menuntut ‘tindakan pencipta’, dan selalu tetap dalam hubungan khusus dengan Sang Pencipta, satu-satunya tujuannya. Hanya Allah Tuhan kehidupan sejak awal sampai akhir: Tak seorangpun dalam keadaan apapun dapat merebut hak untuk direk mematikan manusia yang tak bersalah.[28]

5. Penutup

Tuntutan etis atas martabat pribadi dilihat oleh gereja katolik lewat Gaudium et Spes No. 51 sebagai kewajiban manusia. Hidup merupakan tuntutan kodrati yang harus diberikan pada setiap manusia, maka usaha pemeliharaan hidup harus merupakan kewajiban setiap manusia juga. Kalau manusia menghendaki agar martabatnya dihormati dan diakui maka manusia sendiri harus melaksanakan kewajiban itu.

Sikap hormat terhadap manusia sebagai pribadi bukan saja berasal dari orang lain tetapi juga dari pribadi itu sendiri. Gaudium et Spes dengan amat jelas memberikan keterangan bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai martabat yang tidak bisa dirampas oleh orang lain. Seiring dengan tuntutan martabatnya, setiap orang harus menyadari kewajibannya untuk menjaga dan memelihara martabatnya yang luhur. Hanya manusia yang disebut person. Ciptaan lain tidak dapat disebut person. Martabat manusia diperoleh karena kemanusiaannya sendiri. Ditinjau dari penghayatan religius, manusia dihantar pada sumber hidupnya yakni Allah. Karena pada Allahlah terletak dasar martabat manusia.

Semua manusia itu adalah gambar Allah. Oleh karena itu manusia memiliki nilai khusus di hadapan Allah dan mempunyai hubungan khusus dengan-Nya, sehingga menjadi istimewa bagi-Nya. Sejak awal keberadaannya manusia harus dihormati sebagai hidup yang sungguh manusiawi.[29] Maka sebagai seruan moral bagi seluruh umat manusia pada jaman ini adalah “Cintailah dan belalah kehidupan (persona) yang merupakan pemberian Allah”.

KEPUSTAKAAN

Bertens, K. Aborsi sebagai Masalah Etika. Jakarta: Grasindo, 2002.

Bohr, David. Catholic Moral Tradition. Hungtington: Our Sunday Visitor, Inc, 1989.

Go, P. Hidup dan Kesehatan. Malang: STFT Widya Sasana, 1984.

Kusmariyanto, C.B. Kontroversi Aborsi. Jakarta: Grasindo, 2002.

-------- Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian Yogyakarta: Kanisius, 2005.



[1] John T. Noonan, Jr. “Abortion and Catholic Church:A Summary History” dalam Natural Law Forum, 12 (1967), hlm. 126. Bdk P. Go, Hidup dan Kesehatan (Malang: STFT Widya Sasana, 1984), hlm. 286-291.

[2] Daniel Callahan, Abortion Law, Choice and Morality (London:Collier Macurillan Ltd, 1970) hlm. 378-379-383.

[3] Daniel Callahan, Abortion…, hlm. 384.

[4] Hominisasi merupakan sebuah proses hasilpembuahan menjadi manusia personal atau individual; suatu peralihan atau keterjalinan manusia dari makhluk yang belum manusiawi kepada makhluk yang manusiawi. [Lihat P. Go,…, hlm. 46]

[5] Sacred Congregation for the Doctrine of Faith, Declaration on Procured Abortion, No. 5 (USA: St. Paul Books and Media, 1974). Selanjutnya disingkat SCDF.

[6] P. Go, Hidup…, hlm. 36.

[7] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 107-108; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 36.

[8] K, Bertens, Keprihatinan Moral: Telaah atas Masalah Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 113. Bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37.

[9] P. Go, Hidup…, hlm. 37.

[10] K, Bertens, Keprihatinan…, hlm. 113.

[11] David Bohr, Catholic Moral Tradition (Hungtington: Our Sunday Visitor, Inc, 1989), hlm 266-267; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37-38.

[12] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109..

[13] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109; bdk. juga P. Go, Hidup…, hlm. 37-38..

[14] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 76.

[15] Kendati ada paham yang mengatakan bahwa persona atau kehidupan manusia itu dimulai saat penyawaan, ada juga orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya manusia baru sudah ada di dalam sperma. Maka peranan wanita hanyalah sebagai penampung dan perawat yang membesarkan janin itu dalam rahimnya. Dewasa ini ensoulment bukan lagi menjadi titik penting dalam diskusi abosi tetapi menjadi penentu kapan janin dianggap sebagi persona. Pergeseran ini diakibatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kesadaran akan batasan-batasan bidang ilmunya. Semakin disadari bahwa ilmu kedokteran dan biologi tidak bisa mendiskusikan masalah ensoulment. Masalah penyawaan atau ensoulment adalah bagian dari teologi yang berhubungan dengan agama-agama. Kedokteran dan biologi berbicara sebatas hidup fisik-biologis manusia. [Lihat C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 76; bdk. K. Bertens, Aborsi sebagai Masalah Etika (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 23.]

[16] SCDF, No. 12 dan 13.

[17] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 126; bdk. juga David Bohr, Catholic…, hlm. 267.

[18] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 69. Bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak Aborsi: Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian (Yogyakarta:Kanisius, 2005) hlm. 194.

[19] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 71.

[20] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 69-70; bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak…, hlm. 115-116.

[21] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 71-72; bdk juga C.B. Kusmaryanto, Tolak…, hlm. 109.

[22] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 72-73.

[23] K. Bertens, Aborsi…, hlm. 22.

[24] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 74-75.

[25] C.B. Kusmariyanto, Kontroversi…, hlm. 109.

[26] Herman Embuiru, Katekismus Gereja Katolik (Ende: Arnoldus, 1995), no. 2274.

[27] Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) (Seri Dokumentasi Gerejawi No. 41), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi Penerangan KWI, 1996), No. 61.

[28] Ensiklik Evangelium Vitae, No. 53

[29] David Bohr, Catholic …, hlm 265-268.